Jatuh Cinta Dari Sudut Pandang Kimia

Wuuuuiiiiiiiiihhhhh... Koq judulnya keliatan serius ya...? :)


Artikel pertama setelah relaunching ni... Jadi agak-agak serius... Hehe...

Yuks kita langsung ke pokok artikel...

Mengapa jatuh cinta?
Cinta sendiri sebenarnya merupakan suatu cara manusia untuk menjaga keberlangsungan spesiesnya di muka bumi. Dengan jatuh cinta, menikah, lalu mempunyai anak, maka keberlangsungan hidup manusia akan terjaga. Sesederhana itu kah? Hmmm… Tentu tidak. Manusia merupakan mahluk multi dimensional, jadi cinta bisa menjadi simpel atau rumit tergantung dari mana memandangnya.

Jika dilihat dari sudut pandang kimia, ketika seseorang jatuh cinta, ternyata ada beberapa senyawa kimia di otak, yang biasa disebut neurotransmiter, dan hormon yang turut bermain di dalamnya. Apa yang dilakukan seseorang ketika jatuh cinta? Ternyata orang jatuh cinta tidak selalu mengatakan apa yang dirasakannya. Menurut sebuah penelitian, 55% orang menyatakan ketertarikannya dengan bahasa tubuh (body language), 38% menunjukkannya melalui nada suaranya, dan hanya 7% yang menunjukkan langsung dengan kata-kata.

Seorang antropolog biologi, Helen Fisher, menyatakan bahwa ada 3 tahap dalam cinta, yang dia sebut sebagai lust, attraction, dan attachment. Dimana pada masing-masing tahap diatur oleh hormon dan atau senyawa kimia yang berbeda.

Tahap 1: Lust (hasrat, keinginan, desire)
Tahap ini diawali dengan ketertarikan atau gairah terhadap lawan jenis, yang dipengaruhi oleh hormon seks, yaitu testosteron pada pria dan estrogen pada wanita. Tahap ini biasanya dimulai dari masa pubertas, di mana seseorang mulai tertarik dengan lawan jenisnya. Masa pubertas sendiri berbeda-beda pada tiap manusia. Tetapi, biasanya masa pubertas menghampiri (cieee... menghampiri) manusia pada masa-masa beranjak dewasa dan (katanya) memasuki usia 40 tahunan.

Tahap 2: Attraction
Tahap ini merupakan tahap yang “amazing” ketika seseorang benar-benar sedang jatuh cinta dan tidak bisa berpikir yang lain. Menurut Fisher, setidaknya ada 3 neurotransmiter yang terlibat dalam proses ini, yaitu adrenalin, serotonin, dan dopamin.

a. Adrenalin
Tahap awal ketika seorang jatuh cinta akan mengaktifkan semacam “fight or flight response”, yang akan meningkatkan pelepasan adrenalin dari ujung saraf. Adrenalin akan bertemu dengan reseptornya di persarafan simpatik dan menghasilkan berbagai efek seperti percepatan denyut jantung, aktivasi kelenjar keringat, menghambat salivasi, dll. Hal inilah yang menyebabkan ketika seseorang secara tidak sengaja bertemu dengan seorang yang disukainya, ia akan berdebar-debar, berkeringat, dan mulut jadi terasa kering/kelu.

b. Dopamin
Helen Fisher meneliti pada pasangan yang baru saja “jadian” mengenai level neurotransmiter di otaknya dengan suatu alat pencitraan, dan menemukan tingginya kadar dopamin pada otak mereka. Dopamin adalah suatu senyawa di otak yang berperan dalam sistem “keinginan dan kesenangan” sehingga meningkatkan rasa senang. Dan efeknya hampir serupa dengan seorang yang menggunakan kokain! Kadar dopamin yang tinggi di otak diduga yang menyebabkan energi yang meluap-luap, berkurangnya kebutuhan tidur atau makan, dan perhatian yang terfokus serta perasaan senang yang indah (exquisite delight) terhadap berbagai hal kecil pada hubungan cinta mereka.

Dopamin juga merupakan neurotransmiter yang menyebabkan adiksi termasuk adiksi dalam cinta. Seperti orang yang mengalami addiksi kokain atau ekstasi. Secara neurobiologi keadaannya sama, yaitu level dopamin yang tinggi di otak. keadaannya mirip seperti seorang penderita bipolar yang mengalami keadaan “hipomania”, perasaan yang tinggi, energi yang meluap-luap, kreativitas yang meningkat, dll. Orang yang sedang mengalami jatuh cinta biasanya tidak akan merasa lelah walaupun harus berjalan berkilometer-kilometer jauhnya, jadi pintar membuat puisi, dll.

c. Serotonin
Yang terakhir adalah serotonin. Ketika jatuh cinta, kadar serotonin otak menurun. Serotonin merupakan neurotransmiter yang terlibat dalam obsesi. Turunnya level serotonin inilah yang menyebabkan mengapa ketika kita jatuh cinta, wajah si dia selalu terbayang-bayang terus di kepala, menjadi terobsesi terhadap si dia. Keadaan kimia otak terkait dengan kadar serotonin pada orang yang sedang “falling in love” itu mirip dengan keadaan orang dengan gangguan Obsessive Compulsive Disorder!! Ada obsesi atau keinginan terhadap sesuatu dan ada dorongan (kompulsi) untuk berulang-ulang melakukan sesuatu untuk mencapai keinginan (obsesi)-nya. Misalnya terobsesi untuk mendengar suara si dia, maka akan ada dorongan untuk menelponnya berulang-ulang.

NGF (Nerve Growth Factor)
Seorang peneliti lain, Enzo Emanuele dari University of Pavia, Italia menemukan adanya senyawa lain yang terlibat dalam peristiwa jatuh cinta, yaitu NGF (Nerve Growth Factor). Penemuannya merupakan penemuan pertama yang menyatakan bahwa NGF mungkin berperan penting dalam proses kimia pada orang jatuh cinta. Ia membandingkan 58 orang pria dan wanita, usia 18-31 tahun, yang baru saja jatuh cinta, dengan kelompok orang-orang yang sudah cukup lama memiliki hubungan cinta dan dengan kelompok lajang. Ia memperoleh data bahwa pada kelompok orang yang sedang “falling in love” ditemukan kadar NGF dalam darah yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang sudah membina cinta lebih lama atau yang lajang, dengan perbandingan 227 unit berbanding 123 unit. Menariknya, ketika ia mengecek lagi pada orang yang sama dan masih dengan pasangan yang sama setahun kemudian, kadar NGF-nya turun mencapai kadar yang sama dengan kelompok yang sudah mantap hubungannya atau dengan yang lajang.

Tahap 3: Attachment
Tahap ini adalah tahap ikatan yang membuat suatu pasangan bertahan untuk jangka waktu yang lama, dan bahkan untuk menikah dan punya anak. Para ilmuwan menduga bahwa ada 2 hormon utama lain yang terlibat dalam perasaan saling mengikat ini, yaitu oksitosin dan vasopresin.

Oksitosin – The Cuddle Hormone (hormon untuk menyayangi)
Oksitosin adalah salah satu hormon yang dilepaskan oleh pria maupun wanita ketika mereka berhubungan seksual, yang membuat mereka menjadi lebih dekat satu sama lain. Oksitosin juga merupakan hormon yang dilepaskan oleh sang ibu ketika proses melahirkan dan merupakan hormon pengikat kasih sayang ibu dengan anaknya.

Vasopresin
Sedangkan vasopresin adalah hormon penting lainnya yang menjaga komitmen hubungan suatu pasangan. Hormon ini juga dilepaskan setelah hubungan seksual.
Didalam sudut pandang sains kesehatan, “patofisiologi”, cinta itu memang mirip patofisiologi penyakit. Dan nyatanya memang tidak sedikit orang yang sakit fisik dan jiwa karena cinta. Hmmm... Jadi takut deket-deket orang yang sedang jatuh cinta!!! :D

Selain itu, perasaan jatuh cinta juga bisa mempengaruhi suasana hati seseorang. Kalau perasaan sedang sehati dengan dia, hidup terasa indah berbunga-bunga. Sebaliknya, kalau bertepuk sebelah tangan, hidup bagai kehilangan warna…!!! :D


Cinta tidak memandang pangkat, jabatan, tingkat intelektual karena itu merupakan salah satu fitrah manusia.


Weleh... Weleh... Ternyata jatuh cinta melibatkan senyawa kimia juga...



Reblog dari blog Hikmat



*Dirangkum dari berbagai sumber disertai sedikit suntingan*